Ajaran
Hindu banyak diselubungi mitos dan kata orang modern yang mengandalkan
logika, mitos adalah omong kosong. Suatu vonis yang benar bila kalangan
tersebut biasa bicara mengandalkan logika semata, jadi jelas mitos
adalah omong kosong. Tapi perlu diingat, intelektual bukanlah mahkota
kebenaran karena intelektual dengan senjata logikanya hanyalah salah
satu cara untuk mengerti suatu fenomena. Sementara hidup didirikan atas
azas manfaat atau hukum fungsional sehingga selogika-logika sebuah
riset, pandangan, ilmu dan sejenisnya tapi bila tidak bermanfaat untuk
mebangun kehidupan itu secara holistik maka logika itu pun akan menjadi
mubazir (Inyoman Miarta Putra 2009)
Mengapa pohon Kepuh di Bali Tenget atau angker? Ya, karena menurut
mitos, pohon itu dihuni Tonya, Gamang, Banaspati dan sejenis
mahluk-mahluk gaib yang seram. Karena itu pohon Kepuh tidak layak
digunakan sebagai bahan bangunan apalagi untuk bahan upacara. Kayu dalam
kehidupan masyarakat Hindu di Bali memiliki arti penting. Pratima,
Pralingga maupun Tapakan Ida Bhatara sebagai simbol-simbol tuhan
tersebut terbuat dari kayu pilihan. Berdasarkan keyakinan masyarakat ada
beberapa kayu yang mudah didiami oleh kekuatan magis seperti misalnya
kayu Pole yang sering digunakan sebagai Tapakan Barong dan Rangda. Dan
untuk Pratima lebih banyak mengguakan kayu Cendana dan Majegau. Untuk
bisa disebut sebagai Pratima atau Pralingga Hyang Widhi, maka kayu-kayu
tersebut mesti disucikan terlebih dahulu dengan berbagai ritual misalnya
lewat Mlaspas dan Pasupati.
Dalam lokal genius orang Bali memiliki pantangan untuk menggunakan kayu
tertentu sebagai bahan bangunan. Jika hal tersebut dilanggar maka akan
menemui Kedurmanggalan atau ketidakharmonisan serta bisa mengakibatkan
sakit. Adapun kayu yang pantang digunakan yaitu kayu yang diambil dari
pohon kayu yang terkenal angker, kayu yang berasal dari tebangan
sebelumnya yang tumbuh kembali menjadi kayu besar, kayu yang diambil
dari pohon yang tumbuhnya di tepi sungai, kayu yang diambil dari pohon
kayu yang tumbuh di Merajan atau tempat pemujaan, kayu yang diambil dari
pohon kayu yang tumbuh di pertengahan pembatas pekarangan, kayu yang
diambil dari pohon kayu yang tumbuh di tepi kolam atau danau, dan kayu
yang diambil dari pohon kayu yang sering dihinggapi burung gagak.
Sementara bunga dan buah yang pantang dijadikan persembahan tuhan
adalah bunga Mitir, Cempaka, bunga Kaduduk, Tamuk Urung dan pisang
Dangsaba. Pisang Dangsaba jarang digunakan sebagai persembahan karena
pisang Dangsaba konon tumbuh dari susunya dewi Durga. Makanya pisang
Dangsaba pantang dipersembahkan untuk upacara Dewa Yadnya. Akan tetapi
bisa dipakai dalam upacara Manusa dan Pitra Yadnya. Bunga Mitir biasanya tidak akan digunakan untuk persembahan. Dalam
Lontar Kunti Yadnya dinyatakan bunga Mitir berasal dari darahnya dewi
Durga. Bunga tersebut dinyatakan tidak patut dipersembahkan sebagai
sarana Dewa Yadnya. Akan tetapi setelah mendapatkan Penyupatan dari dewa
Siwa, kemudian boleh dipakai akan tetapi yang kembangnya bagus, utuh,
dan kekuning-kuningan. Selain itu sebaiknya bunga Mitir tidak digunakan
sebagai bunga untuk Tirta karena bunga tersebut cepat busuk bila kena
air.
Bunga Cempaka juga
tidak boleh sebagai persembahan terutama persembahan untuk Siwa karena
bunga Cempaka pernah dikutuk oleh Narada. Selain bunga Cempaka, bunga
yang tidak boleh dijadikan persembahan adalah bunga Kaduduk dan Turuk
Umung. Karena bunga tersebut tumbuh di tempat jatuhnya kotoran bekas
persalinan dewi Uma. Karena merasa bunga tersebut tidak suci apalagi
dikerumuni lalat serta tumbuhnya di bekas kotoran sehabis persalinan,
akhirnya bunga tersebut dinyatakan dewi Durga tidak boleh digunakan
sebagai sarana pemujaan. Selain itu, bunga yang pantang untuk
dipersembahkan adalah bunga yang digemari semut, bunga yang tumbuh di
kuburan, dan bunga layu.
Selain bunga
dan buah, tepi janur juga pantang untuk bahan upacara. Ibu-ibu yang
biasa Mejejahitan membuat sarana upacara maka biasanya pada bagian
hijaunya atau bagian tepi janur selalu dibuang. Selain memang nampaknya
tidak indah, secara Mitologi dikaitkan dengan cerita Mayadanawa seperti
yang dikisahkan dalam Usana Bali. Dalam cerita tersebut, Mayadanawa
merubah dirinya menjadi janur dan pohon Timbul. Karena pohon Timbul
sebagai tempat persembunyian Mayadanawa, maka oleh dewa dinyatakan pohon
Timbul itu agar tidak boleh dipergunakan sebagai persembahan para dewa.
Maka sampai saat ini Timbul bagi masyarakat yang mengetahuinya tidak
menggunakannya sebagai sarana untuk persembahan.
Buku ini ditulis oleh Inyoman Miarta Putra terbitan Pustaka Manikgeni 2009.
Buku ini ditulis oleh Inyoman Miarta Putra terbitan Pustaka Manikgeni 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar