Rabu, 27 November 2019

Buku Mitos-Mitos Tanaman Upakara.

Ajaran Hindu banyak diselubungi mitos dan kata orang modern yang mengandalkan logika, mitos adalah omong kosong. Suatu vonis yang benar bila kalangan tersebut biasa bicara mengandalkan logika semata, jadi jelas mitos adalah omong kosong. Tapi perlu diingat, intelektual bukanlah mahkota kebenaran karena intelektual dengan senjata logikanya hanyalah salah satu cara untuk mengerti suatu fenomena. Sementara hidup didirikan atas azas manfaat atau hukum fungsional sehingga selogika-logika sebuah riset, pandangan, ilmu dan sejenisnya tapi bila tidak bermanfaat untuk mebangun kehidupan itu secara holistik maka logika itu pun akan menjadi mubazir (Inyoman Miarta Putra 2009)
     
 Mengapa pohon Kepuh di Bali Tenget atau angker? Ya, karena menurut mitos, pohon itu dihuni Tonya, Gamang, Banaspati dan sejenis mahluk-mahluk gaib yang seram. Karena itu pohon Kepuh tidak layak digunakan sebagai bahan bangunan apalagi untuk bahan upacara. Kayu dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali memiliki arti penting. Pratima, Pralingga maupun Tapakan Ida Bhatara sebagai simbol-simbol tuhan tersebut terbuat dari kayu pilihan. Berdasarkan keyakinan masyarakat ada beberapa kayu yang mudah didiami oleh kekuatan magis seperti misalnya kayu Pole yang sering digunakan sebagai Tapakan Barong dan Rangda. Dan untuk Pratima lebih banyak mengguakan kayu Cendana dan Majegau. Untuk bisa disebut sebagai Pratima atau Pralingga Hyang Widhi, maka kayu-kayu tersebut mesti disucikan terlebih dahulu dengan berbagai ritual misalnya lewat Mlaspas dan Pasupati.
     
Dalam lokal genius orang Bali memiliki pantangan untuk menggunakan kayu tertentu sebagai bahan bangunan. Jika hal tersebut dilanggar maka akan menemui Kedurmanggalan atau ketidakharmonisan serta bisa mengakibatkan sakit. Adapun kayu yang pantang digunakan yaitu kayu yang diambil dari pohon kayu yang terkenal angker, kayu yang berasal dari tebangan sebelumnya yang tumbuh kembali menjadi kayu besar, kayu yang diambil dari pohon yang tumbuhnya di tepi sungai, kayu yang diambil dari pohon kayu yang tumbuh di Merajan atau tempat pemujaan, kayu yang diambil dari pohon kayu yang tumbuh di pertengahan pembatas pekarangan, kayu yang diambil dari pohon kayu yang tumbuh di tepi kolam atau danau, dan kayu yang diambil dari pohon kayu yang sering dihinggapi burung gagak.
       
 Sementara bunga dan buah yang pantang dijadikan persembahan tuhan adalah bunga Mitir, Cempaka, bunga Kaduduk, Tamuk Urung dan pisang Dangsaba. Pisang Dangsaba jarang digunakan sebagai persembahan karena pisang Dangsaba konon tumbuh dari susunya dewi Durga. Makanya pisang Dangsaba pantang dipersembahkan untuk upacara Dewa Yadnya. Akan tetapi bisa dipakai dalam upacara Manusa dan Pitra Yadnya. Bunga Mitir biasanya tidak akan digunakan untuk persembahan. Dalam Lontar Kunti Yadnya dinyatakan bunga Mitir berasal dari darahnya dewi Durga. Bunga tersebut dinyatakan tidak patut dipersembahkan sebagai sarana Dewa Yadnya. Akan tetapi setelah mendapatkan Penyupatan dari dewa Siwa, kemudian boleh dipakai akan tetapi yang kembangnya bagus, utuh, dan kekuning-kuningan. Selain itu sebaiknya bunga Mitir tidak digunakan sebagai bunga untuk Tirta karena bunga tersebut cepat busuk bila kena air.
        
Bunga Cempaka juga tidak boleh sebagai persembahan terutama persembahan untuk Siwa karena bunga Cempaka pernah dikutuk oleh Narada. Selain bunga Cempaka, bunga yang tidak boleh dijadikan persembahan adalah bunga Kaduduk dan Turuk Umung. Karena bunga tersebut tumbuh di tempat jatuhnya kotoran bekas persalinan dewi Uma. Karena merasa bunga tersebut tidak suci apalagi dikerumuni lalat serta tumbuhnya di bekas kotoran sehabis persalinan, akhirnya bunga tersebut dinyatakan dewi Durga tidak boleh digunakan sebagai sarana pemujaan. Selain itu, bunga yang pantang untuk dipersembahkan adalah bunga yang digemari semut, bunga yang tumbuh di kuburan, dan bunga layu.
                        
Selain bunga dan buah, tepi janur juga pantang untuk bahan upacara. Ibu-ibu yang biasa Mejejahitan membuat sarana upacara maka biasanya pada bagian hijaunya atau bagian tepi janur selalu dibuang. Selain memang nampaknya tidak indah, secara Mitologi dikaitkan dengan cerita Mayadanawa seperti yang dikisahkan dalam Usana Bali. Dalam cerita tersebut, Mayadanawa merubah dirinya menjadi janur dan pohon Timbul. Karena pohon Timbul sebagai tempat persembunyian Mayadanawa, maka oleh dewa dinyatakan pohon Timbul itu agar tidak boleh dipergunakan sebagai persembahan para dewa. Maka sampai saat ini Timbul bagi masyarakat yang mengetahuinya tidak menggunakannya sebagai sarana untuk persembahan.
Buku ini ditulis oleh Inyoman Miarta Putra terbitan Pustaka Manikgeni 2009.

Tidak ada komentar: